Enggang Borneo dan Harimau Sumatera Suarakan Perlawanan Terhadap Perampasan Tanah Adat Lewat “SUAR”

Di tengah meningkatnya ancaman terhadap tanah adat dan lingkungan hari-hari ini, King of Borneo berkolaborasi dengan Tuan Tigabelas meluncurkan single “Suar.”

Lagu ini menjadi seruan lantang untuk melawan perampasan tanah Masyarakat Adat, kerusakan ekosistem, serta hilangnya budaya dan kehidupan satwa endemik.

Tindakan perusakan lingkungan atas nama pembangunan semakin terang-terangan di depan mata kita: hutan ditebang tanpa kendali, tanah rusak oleh eksploitasi, air tercemar, dan yang paling menyayat hati, Masyarakat Adat terusir dari tanah leluhur mereka. Habitat satwa endemik pun dihancurkan, mengancam keberlangsungan berbagai spesies. Atas nama investasi ekonomi perusak lingkungan seakan melupakan ekologi.

Single “Suar” bukan sekadar karya musik, tetapi sebuah panggilan aksi. King of Borneo dan Tuan Tigabelas dengan tegas menyerukan keberanian untuk berdiri di garis depan menjaga tanah adat dan budaya yang telah diwariskan oleh leluhur.

Mereka mengajak kita semua untuk lebih sadar dan peduli terhadap perusakan alam, perampasan tanah adat, serta pengasingan budaya yang telah berlangsung lama.

Melalui komposisi musik yang antemik, “Suar” menawarkan pengalaman mendalam bagi pendengarnya. Lagu ini dirancang untuk mudah dinyanyikan bersama (sing along), dengan nuansa yang membangkitkan semangat perlawanan. Pada bagian tertentu, tempo musik melambat, memberi ruang bagi pendengar untuk merenung dan menyadari pentingnya menjaga alam serta warisan budaya. Setelah itu, tempo musik kembali meningkat, membawa semangat baru untuk melawan segala bentuk ketidakadilan.

Lirik “Suar” menyoroti kearifan Masyarakat Adat dalam menjaga hutan, dengan meminjam kalimat dari Apai Janggut dan Apai Remang, dua sosok pejuang lingkungan dari komunitas Masyarakat Adat Dayak Iban Sungai Utik. Selain itu, kritik keras tertuju pada praktek manipulasi dan eksploitasi yang sering kali dilakukan dengan rapi dan sistematis oleh pihak-pihak yang ingin menguasai tanah adat. Adu domba antar komunitas, perampasan lahan secara terang-terangan, bahkan kekerasan terhadap mereka yang berani melawan menjadi potret suram yang terus terjadi. King of Borneo dan Tuan Tigabelas mengajak kita menyadari bahwa hanya dengan menyatukan kekuatan komunal dan kesadaran kolektif, masyarakat dapat melawan praktik-praktik keji tersebut.

Salah satu pesan penting dalam “Suar” adalah bahwa hidup yang selaras dengan alam adalah wujud syukur atas karunia Tuhan. Menjaga tanah, hutan, air dan budaya leluhur bukan hanya kewajiban Masyarakat Adat, tetapi tanggung jawab bersama untuk keseimbangan alam semesta.

King of Borneo dan Tuan Tigabelas berharap bahwa “Suar” dapat menjadi anthem perlawanan dan pengingat bahwa peradaban yang luhur tidak mungkin dibangun di atas perusakan dan keserakahan. Peradaban yang sejati adalah yang beradab dalam tingkah laku terhadap alam, budaya, dan sesama manusia.

Melalui “Suar” mereka ingin menyampaikan pesan bahwa melawan perusakan alam dan perampasan tanah adat adalah bentuk nyata dari kesadaran akan hak dan tanggung jawab sebagai manusia yang diberi predikat makhluk paling sempurna.

Dengan semangat yang tertanam dalam setiap nadanya, “Suar” siap menjadi suara keberanian untuk melindungi tanah adat, budaya, dan alam nusantara.

 

Tentang “SUAR” Sebuah Epilog

Lagu Suar terinspirasi dari perjumpaan kami dengan beragam komunitas adat di Kalimantan. Kami tidak hanya mengagumi budaya yang dimiliki masyarakat adat, melampaui itu, kami kagum pada filosofi hidup, spiritualitas, dan keberanian yang mereka miliki.

Sayangnya, kehidupan Masyarakat Adat yang bersahaja seringkali diusik oleh kepentingan pihak luar. Hal ini jadi kabar buruk, seperti nada suram di lagu bahagia.

Di lagu ini kami meminjam kalimat dari Apai Janggut dan Apai Remang, dua sosok pejuang lingkungan dan Masyarakat Adat dari komunitas Dayak Iban Sungai Utik. Penggalan lirik yang memuat kata-kata mereka memberi nyawa bagi lagu ini.

Kami berharap Suar dapat menjadi lagu semangat bagi orang-orang yang memilih jalan sunyi untuk mempertahankan ruang hidupnya dan menjadi peringatan bagi mereka yang ingin merampas hak-hak masyarakat adat.

 

King of Borneo adalah band rock alternatif asal Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, yang dibentuk pada 2016 oleh Aday, Oddi, Awick, dan Uju Dedi. Menggabungkan rock dengan elemen budaya lokal, mereka menghadirkan musik unik bertema alam, kehidupan adat, dan pelestarian budaya untuk menyuarakan isu lingkungan dan sosial.

Berita terkait